Assalamu’alaikum wr. wb.
Tidak sedikit yang menyimpulkan bahwa bank syariah itu sama dengan bank konvensional. Bedanya, yang syariah pake bismillah, dan yang konven ga pake bismillah, apakah itu benar? Mohon penjelasan ustadz.
Farida – Padang
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Bank syariah itu beda dengan bank konvensional, karena setiap dana dikelola secara halal, ditunaikan kewajiban zakatnya, serta dengan sumber dana yang halal, insya Allah.
Pertanyaan mendasar tersebut muncul menjadi pertanyaan banyak pihak karena membedakan keduanya dalam hal mudah dilihat, seperti berapa yang harus dibayar, menggunakan apa, sehingga tidak ada perbedaan antara keduanya. Realitas ini juga menyisakan PR berupa edukasi dan literasi yang lebih optimal.
Ada banyak perbedaan di antara keduanya, di antara perbedaan tersebut adalah;
Pertama, Dana Bank Syariah dikelola (peruntukan) secara halal, di mana seluruh dana yang diterima bank syariah hanya boleh digunakan (disalurkan) untuk yang halal, seperti membiayai usaha yang halal dan legal, seperti produk pembiayaan rumah, kendaraan, dan umrah. Sebaliknya, bank syariah tidak menyalurkannya untuk membiayai yang tidak halal, seperti usaha minuman keras, judi, prostitusi, rokok, dan peruntukan lainnya yang tidak halal.
Selain itu, pembiayaan di bank syariah harus ada underlying asetnya sehingga harus jelas skema / transaksi syariah yang digunakan. Misalnya, jika ‘jualan’ yang dipilih sebagai jenis transaksinya, maka harus ada barang atau jasa halal dan legal yang diperjual belikan / disewakan. Jika bagi hasil yang dipilih sebagai jenis transaksinya, maka harus ada usaha halal dan legal yang menjadi tempat perputaran modalnya.
Pakar ekonomi syariah menjelaskan poin ini dari sisi lain, yaitu di bank konvensional, tujuan penggunaan kredit tidak menentukan jenis akadnya. Sedangkan di bank syariah, tujuan penggunaan pembiayaan menentukan jenis akad. Di samping itu, di bank konvensional, uang diputar menjadi uang yang lebih banyak. Sedangkan di Bank syariah, uang harus diputar jadi barang/jasa/usaha, sehingga menjadi uang yang lebih banyak.
Di bank syariah, selain pembiayaan itu harus ada peruntukannya, juga harus ada underlyingnya yang halal dan legal. Oleh karena itu, setiap pembiayaan yang diajukan ke bank syariah harus melalui screening tersebut. Jika tidak sesuai dengan screening tersebut seperti pembiayaannya tidak ada underlying asetnya, peruntukannya tidak halal, atau tidak legal, maka tidak akan diterima pengajuannya.
Kedua, sumber dana yang halal, di mana seluruh atau sebagian besar modal bank syariah itu halal. Misalnya, fee based income yang menjadi pendapatan bank (induk) konven yang selanjutnya menjadi bagian modal suatu bank syariah.
Ketiga, Bank Syariah -sedianya- menunaikan sedekah dan zakatnya. Karena Bank Syariah itu wajib zakat sebagaimana kaidah ‘an-nama’ (berkembang), khiltah dan milkiyah, serta asas manfaat dan keberkahan. Sebagaimana juga Standar syariah AAOIFI tentang Zakat No. 35, Lembaga Fikih OKI No.28 (3/4) tentang zakat saham perusahaan, dan Muktamar Internasional I 1404 H tentang Zakat.
Seperti yang disampaikan dalam rapat umum pemegang saham bank syariah di Indonesia, bahwa bank syariah mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari laba perusahaan. Kontribusi sosial ini sangat strategis, selain karena donasi zakat perusahaan yang cukup besar untuk membantu para dhuafa, juga menegaskan fungsi sosial bank syariah.
Begitu pula dengan denda keterlambatan, di mana Bank syariah memperlakukannya sebagai dana sosial dan bukan sebagai pendapatannya, sebagaimana Fatwa No. 123/DSN-MUI/XI/2018 tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah, dan Lembaga Perekonomian Syariah. Di bank Syariah juga, ada Dewan Pengawas Syariah dan Otoritas yang mengarahkan, mengawasi aktifitas Bank Syariah, serta mengingatkannya agar patuh dengan fatwa dan regulasinya.
Wallahu a’lam.
Penjawab: Dr. H. Oni Sahroni, Lc., M.A.